June The Little Queen adalah komik buatan Kim Yeon Joo yang waktu dulu benar-benar mencuri hatiku dengan kata-kata yang terukir di dalamnya. Eh, tapi sekarang aku juga masih suka membaca ulang komik ini, sih. Hehe
Well, ini bukan review dariku mengenai komik ini, tapi aku hanya ingin membagi kalimat yang kusuka dari sejak pertama kali membaca komik ini. Dan bagi yang merasa tertarik untuk membaca komik ini, silakan
Mampir ke sini.
“Kita akan bertemu lagi.
Melewati terang, melewati waktu, di bintang yang seperti madu, di mana
langit yang indah mengalir. Kita akan bertemu lagi. Dunia yang besar.
Dan kita adalah kosmos kecil di dalamnya. Ada dunia yang bernama
kehidupan sehari-hari, dan sejarah bernama kenangan mengalir. Bersama
permata-pertama kecil di sana. Meski kulalui penyesalan dan sekali lagi
aku kembali, yang berharga tetaplah berharga. Yang mengakhiri adalah
dia, dan yang kembali adalah si kecil. Yang tertinggal di celah waktu
dan memeluk kenangan adalah aku.”
“Meski sakit, kamu bisa menjalani hidup. Karena selama hidup, aku akan ada di sisimu.”
“Aku bisa menghapus air mata. Luka pun sering terjadi. Tapi meski sering bukan berarti tidak sakit lagi.”
“Jadi sekarang, meski berpisah, meski luka, jangan menangis. Waktu berlalu dengan cepat. Kita akan segera bertemu kembali.”
“Menjelang
pagi, aku berdiri di hutan itu dan menangis. Jika menutup mata,
sepertinya tedengar suara hujan. Itu aneh sekali. Karena sampai saat
itu, aku tidak pernah melupakan hujan. Namun demikian, bagaimana aku
tahu itu bunyi hujan? Dan ketika membuka mata. Langit dengan cahayanya
yang menyilaukan ada di sana.. pada gadis terang itu.”
“Ratuku ada di tempat yang jauh.. di tempat yang lebih jauh.. dia bersinar untukku. Bersinar demi aku.”
“Meski bagiku sekarang hanya ada kekosongan, aku tidak berpikir aku akan boleh lenyap seperti ini.”
“Apa yang membuatku sedih? Aku sedih, dan dia juga sedih.”
“Dua
hal yang dapat kamu lakukan; waspada atau membunuh. Jangan ragu-ragu.
Jangan berpikir. Kosongkan hati. Hanya satu titik. Menuju jantung merah
si bocah.”
“Kesungguhan hati.. tidak diketahui jika tidak dinyatakan, jika diperlihatkan, namun tak berarti tidak ada.”
“Yang kuat mudah patah.”
“Di
atas ladang salju yang sangat dingin, saat kuulurkan takhta ratu kepada
Ratu Terang yang sebaya denganku dengan tanganku sendiri.. dia tidak
tertawa.. dia hanya berbalik saja.”
“Kalau diberi kesempatan hidup lagi padamu, mau kembali pada saat yang mana?”
“Untuk apa kembali padahal hidup selama ini sulit.”
“Lebih baik hidup tanpa penyesalan sama sekali.”
“Tidak begitu. Tapi, meski diberi kesempatan lagi, aku akan melakukan kesalahan lagi. Makanya aku akan terus maju.”
“Tak terdengar dunia yang menghening, kah?”
“Apa yang kamu lakukan?”
“Masa
lalu.. aku yang buta dan bodoh, dan dia yang dingin dan ragu-ragu.
Akibatnya gadis hari ini mengingat sejarah waktu dan bintang lagi.
Gadis, aku salut padamu.”
“Pada hari ketika salju turun.
Salju bertumpuk di atas jejak kaki yang dalam. Jalan yang sulit dilewati
di ladang salju itu, kau selalu berjalan di depan. Aku berjalan sambil
menginjak jejak kaki yang kau buat. Kita berdua, berjalan di satu
jalan.”
“Bohong kalau bilang aku tidak sedih. Bohong kalau
bilang tidak menunggu. Bohong kalau bilang kembali juga. Berkata
sebaiknya tidak dilahirkan, sebaiknya lenyap seperti ini saja juga
sebenarnya bohong. Semuanya bohong. Tapi ada satu kesugguhan hati, aku
selalu ingin berada di jalan yang sama denganmu.”
“Dan
kesakitan yang berbaur di tempat ini bukan milikku. Diriku hampa
sekaligus penuh dengan hal-hal tidak berguna. Dan yang aku punya
hanyalah nama. Nama yang suatu hari kau berikan kepadaku. Tapi aku tak
bisa menemukanmu. Bahkan aku tak tahu harus ke mana.. sekarang tidak
akan aneh jika kapan pun dan ke mana pun aku bisa menghilang.”
“.. Tapi aku tidak mau menjadi seseorang yang menciptakan kematian. Karena itu, kalau aku tak bisa bahagia di sini..”
“Meski aku tahu, tak ada yang berubah. Aku sombong pada diriku sendiri. Padahal aku tahu, suatu saat aku akan kehilangan dia.”
“Jangan menunggu. Meski menunggu, dia tidak akan datang.”
“Mungkin
ini kesombongan. Aku tidak punya kekuatan atau logika untuk itu. Untuk
membicarakan cinta aku terlalu rasional, dan untuk membicarakan ideologi
aku terlalu realistis. Aku terlalu kosong untuk berbicara tentang
impian.”
“Jiwaku kering dan penuh dengan pengetahuan yang
sulit ditanggung. Sama seperti huruf-huruf yang mati dalam bingkisan
mahal. Dengan alasan itu, apakah aku merusaknya? Suatu hari nanti, aku
akan bertanya kepadamu, tapi kau hanya tertawa saja. Hari itu, aku ingin
menjaga harta kita..”
“Kamu kurang mempunyai konsep aku.. karena itu begitu mudah mempengaruhimu. Seperti apakah definisi aku? Bagaimana terbuktinya eksistensi aku? Bukankah karena adanya kau kita menjadi aku? Kau yang memanggil namaku. Aku yang
mengumpulkan kenangan kita menjalani dunia. Tidak aneh seperti katamu,
kapanpun itu bisa lenyap. Meski aku menginjak kaki di bumi, aku terus
membumbung. Karena itu sekarang.. pulanglah padaku dan jadilah aku.”
“Kalau ada tempat bagiku di dunia, kupikir tempat yang disebutkan anak itu. Tempat dulu aku dibesarkan, yang tidak kuingat.”
“Warna
merah di atas ladang salju putih. Dua baris jejak kaki. Bunyi kaki
menginjak salju. Tangan yang hangat. Aku memegang tangan itu dan
menyeberangi waktu. Aku tidak sampai di mana pun juga.”
“Waktu berwarna keemasan. Impian berwarna ungu.”
“Dan bunga pun.. angin juga.. hati juga mengikuti sebuah aliran. Di sana ‘melihat’ tidak ada arti apa-apa.”
“Terkadang,
kamu harus belajar membuang kesedihan untuk bisa maju. Belajar
menggigit bibir dan menelan air mata terhadap dunia yang kejam, baru
akan tiba fajar baru.”
“Aku tidak bisa memungut bintang yang jatuh. Kata yang terucap tanpa sadar juga tidak terpungut. Meski begitu, aku tetap aku?”
“Akhirnya aku tahu jalannya berbeda.”
“Setiap malam aku berpikir, suatu pagi kau sudah pergi dan tidak ada di sana lagi.”
“Aku hanya bisa melihat akhir dari akhir.”
“Kesudahan segala sesuatu adalah kematian.”
“Sekarang berbahagialah di sini, itu sudah cukup.”
“Aku tidak menemukan lembah pelangi, karena itu aku masih belum menjaga apa-apa. Yang bercahaya, bukan diriku.”
“Dia terang yang paling cemerlang. Aku kehilangan dia begitu saja.. harta yang paling berharga di duniaku.”
“Sungguh
semua itu adalah ikatan yang berharga. Begitu berharganya hingga
menjadi ingatanku, kehidupanku, cintaku.. itulah unsur-unsur diriku.
Aku punya nama dan kau memanggil namaku. Dan namaku kembali padaku dan menjadi diriku.
Sungguh itu ikatan yang berharga.
Jadi ketika satu persatu mutiara yang bercahaya terjatuh, karena kagetnya aku tidak terpikir untuk memungutnya.
Sepertinya kau tertawa dengan canggung. Tidak, mungkin kau tidak bereaksi sama sekali.. ah, sebenarnya aku kurang tahu.
Ingatan bisa dibengkokkan, dan masa lalu selalu melimpah dan indah.
Aku tidak bisa membayangkan air matamu.
Kau selalu tertawa dan bercahaya.”
“Meski
tidak tertangkap.. meski tidak terlihat.. ada sesuatu di sana. Meski
tidak ada nama dan disebut namanya, aku tahu ada yang bercahaya di
sana.”
“Langit.. langit yang gelap dan merah. Terang dan
kegelapan. Hidup dan mati. Dua dunia yang bertentangan.. kali ini, mau
membawa siapa?”
"Dan langit yang penuh di atasku, fajar
yang mulai menyingsing.. gunung yang tetap putih, rumput yang
menggelikan telapak kakimu.. angin yang membuat rambutmu yang tidak
tersisir bebas tergerai. Udara yang penuh di pelukanmu.. Duniaku yang
indah. Surgaku."
"Hari ini juga kita bertemu lagi. Di bawah terang sinar matahari."
"Terlalu
senangnya, hari ini aku memberi salam kepada matahari. Juga kuberi
salam kepada pagi. Hari ini juga.. aku pergi menemuimu."
"Salam kepada Pagi."
"Salam
kepada sinar matahari. Untunglah mimpi buruk hanyalah mimpi. Aku senang
bertemu denganmu lagi dalam sinar putih matahari."
"Aku
berharap seperti itu. Seperti waktu itu kamu berkata aku salah jika bisa
tertawa. Tak apa tertipu oleh penghiburan yang manis.."
"Bintang jatuh itu kamu."
"Makanya aku bilang kamu bodoh. Karena itu aku memintamu pulang."
"Kamu terlalu kecil untuk melawan arus sungai, tapi kamu indah sekali bagiku."
"Semua
orang tumbuh melalui hal-hal seperti itu. Benci, suka, dan melupakan,
lalu berpisah lagi.. Sekarang kami sudah besar, jadi sudah melupakan
hal-hal itu."
"Ada suara yang berbisik dari jauh.. di
pinggir kolam, di dekat rumput, di atas air yang menggelegak. Di ujung
angin yang singgah sejenak."
"Kata yang tidak tersampaikan itu lenyap entah pergi ke mana."
"Waktu kecil,
Tanganku pernah terluka karena buku.
Buku gambar itu dibeli pengasuhku dari pasar.
Buku gambar yang cantik dengan gambar burung biru.
Tidak sesakit saat terluka terkena pisau atau terjepit pintu, tetapi aku kaget karena terluka oleh kertas.
Berdarah. Hanya begitu saja aku merasa sakit.
Dan luka yang tipis dan tajam itu cukup lama.
Setiap kali aku melihatnya, aku ingat hal itu.
Sakit.
Luka yang terabaikan kalau tidak dilihat.
Terus teringat karena tertanam dalam benakku.
Sakit.
Jelas
sakit. Sampai menyadarkan batas antara mimpi dan kenyataan. Sampai bisa
mengetahui pedang yang disembunyikan dengan syaraf yang tumpul.
Setetes darah, tidak membuat tanah menjadi merah.
Tidak timbul perubahan apa pun juga.
Apakah ini mimpi?
Apakah aku terluka parah dalam mimpi buruk?
Sakit..
Tapi tak bisa kutemukan luka.
Meski tak bisa kutemukan, air mataku tidak berhenti.
Siapa aku?
Tidak..
Apakah aku?"
"Saat
pertama bertemu juga, mungkin aku menjemputmu. Petunjuknya adalah
melebarkan kedua lenganku, memeluk bahu kecilnya dalam pelukanku."
"Kami akan terbang bersama. Kalau tidak bisa terbang, kami akan berjalan bersama."
"Malam
musim panas itu panas. Dan insomnia yang asing itu tidak nyaman. Meski
menutup mata, tidak mengantuk. Meski menutup telinga, keheningan begitu
jauh.. anganku berlari ke sana. Musim panas di bulan agustus adalah
kisah di negeri yang jauh. Hari ini juga.. daun berbisik tertiup angin."
"Maaf, karena aku berdiri di ujung pedangmu. Maaf, karena aku bukan diriku lagi."
"Namaku
yang hanya satu-satunya di dunia. Namamu. Dan di bawah air yang dingin.
Kegelapan yang tak ada ujungnya. Aku sangat lama tertidur di sana.
Karena aku terus menunggu dalam kegelapan."